Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali Allah, janganlah kalian berpecah-belah.” (Ali ‘Imran : 103)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan, dan mereka itulah yang mendapatkan azab yang besar.” (Ali ‘Imran : 105)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka sehingga mereka menjadi bergolong-golongan maka kamu bukanlah termasuk diantara mereka sama sekali. Sesungguhnya urusan mereka itu adalah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitakan kepada mereka dengan apa-apa yang telah mereka lakukan.” (Al-An’am : 159)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang-orang yang dirahmati Rabbmu.” (Hud : 119)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan ‘tali Allah’ adalah perjanjian Allah. Selain itu, ‘tali Allah’ juga bisa dimaknakan dengan Al-Qur’an. Disebutkan dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kitabullah itu adalah tali Allah yang dibentangkan dari langit ke bumi.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2/64-65)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ridha kepada kalian tiga hal dan murka karena tiga hal. Allah ridha kalian beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan hendaknya kalian semua berpegang teguh dengan tali Allah serta tidak berpecah-belah, dan hendaklah kalian memberikan nasihat kepada orang-orang yang Allah serahkan kepada mereka urusan kalian. Allah murka kepada kalian karena tiga hal; kabar-kabar burung, terlalu banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Muslim)
Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Kami memandang bahwa al-jama’ah/persatuan adalah kebenaran, sedangkan perpecahan adalah penyimpangan dan azab.” Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Persatuan umat di atas kebenaran adalah rahmat, sedangkan perpecahan diantara mereka adalah azab. Ini merupakan salah satu dasar dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh sebab itu wajib untuk bersatu dan mencampakkan perpecahan.” (lihat At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah ‘ala Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 253)
Persatuan yang diperintahkan ini adalah persatuan di atas Al-Qur’an dan Islam, persatuan di atas tauhid dan akidah, bukan persatuan di atas syirik dan penyimpangan. Setelah menyatakan kalimat di atas, Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “Agama Allah di muka bumi ini adalah satu, yaitu agama Islam.” (lihat At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah, hal. 257)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran : 19)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat kelak dia termasuk golongan orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian termasuk kaum musyrikin, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka sehingga mereka menjadi bergolong-golongan. Setiap golongan berbangga-bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (Ar-Ruum : 31-32)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaknya kalian tegakkan agama ini dan janganlah kalian berpecah-belah di dalamnya.” (Asy-Syura : 13)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya, Allah ta’ala mewasiatkan seluruh nabi ‘alaihimus sholatu was salam untuk bersatu, dan melarang mereka dari perpecahan dan perselisihan.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7/147)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan, bahwa agama yang dibawa segenap rasul adalah beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasulpun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/seembahan yang benar kecuali Aku, maka sembahlah Aku saja.” (Al-Anbiya’ : 25) (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7/147)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36)
Kaum muslimin tidak boleh berpecah-belah di dalam agama mereka. Bahkan mereka wajib untuk bersatu di atas tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya ini adalah umat kalian umat yang satu dan Aku adalah Rabb kalian, maka sembahlah Aku saja.” (Al-Anbiyaa’ : 92) (lihat Syarah Ushul As-Sittah oleh Syaikh Al-Fauzan, hal. 17)
Tauhid inilah yang menjadi hikmah penciptaan jin dan manusia. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)
Dakwah tauhid inilah dakwah yang akan membawa persatuan kepada umat. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Muadz bin Jabal radhiyallahu’anhu ketika mengutusnya ke Yaman, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka yaitu supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab Al-Iman)
Tauhid -sebagaimana diterangkan para ulama- adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan semua sesembahan selain-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Allah, janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (An-Nisaa’ : 36)
Tauhid inilah yang diserukan oleh para mu’adzin dalam kalimat-kalimat adzan yang mereka kumandangkan setiap harinya. Kalimat laa ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar selain Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah sesembahan yang benar sedangkan apa-apa yang mereka seru selain-Nya adalah batil.” (Al-Hajj : 62)
Tauhid inilah cabang keimanan yang paling utama. Bahkan, ia adalah pokok dan asasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman ada tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang paling tinggi ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)